Jumat, 13 Desember 2013

SEJARAH BAHASA JAWA KUNA



1. Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuna
           
Sejarah penggunaan bahasa Jawa Kuna dimulai tanggal 25 Maret 804. Tanggal ini adalah tanggal yang terdapat pada prasasti Sukabumi (Kediri), yaitu tahun 726 Ś. Penentuan tanggal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum tahun itu bahasa yang digunakan dalam prasasti adalah bahasa Sansekerta.
Pengetahuan tentang bahasa Jawa Kuna sebelum tahun 804 didapatkan dari sumber-sumber yang ditulis dalam bahasa yang bukan bahasa Jawa Kuna. Sumber itu berasal dari Indonesia sendiri dan dari luar Indonesia. Yang berasal dari Indonesia ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Melayu Kuna berupa prasasti-prasasti. Sumber dari luar yaitu dari Tiongkok (catatan I Cing). Dari sumber Tiongkok diketahui bahwa ada bahasa pribumi (k’un lun) yang digunakan oleh penduduk Jawa, dan kemungkinan yang masuk akal adalah bahasa Jawa Kuna.
Salah satu prasasti yang ditulis dengan bahasa Melayu Kuna adalah prasasti Kedukanbukit, tahun 605 śaka (683 M). Isi prasasti tersebut seperti berikut (Iskandar 1996: 18-19).
1.    swasti śrī śakavarṣātīta 605, ekādaśī śu-
2.    klapakṣa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di
3.    sāmvau manalap siddhayatra disaptamī śuklapakṣa
4.    vulan jyeṣṭha dapunta hiyaṃ marlapas ḍari mināna
5.    tāmvan mamāwa yaṃ vala dua lakṣa dannan kośa
6.    duaratus càra di samvau danan jālan sarivu
7.    tlurātus sapuluh dua vañakña dataṃ di mata yap
8.    sukacita di pañcami śuklapakṣa vulan .....
9.    laghu mudita dātaṃ marvuat vanua ...
10.  śrīvijaya, jaya siddhayātra subhikṣa ......

Terjemahannya:
1.    Selamat tahun Śaka telah berjalan 605 tanggal 11
2.    paruh-terang bulan Vaiśaka, yang dipertuan Hyang naik di
3.    perahu mengambil perjalanan suci pada tanggal 7 paruh-terang
4.    bulan Jyesta yang dipertuan Hyang berangkat dari Minanga
5.    tamwan membawa bala (tentera) dua puluh ribu dengan peti
6.    duaratus berjalan di perahu dengan jalan (darat) seribu

7.    tigaratus sepuluh dua banyaknya. Datang di mata yap (?).
8.    bersukacita pada tanggal lima paruh-bulan ....
9.    (dengan) mudah dan senang datang membuat kota ...
10.  Śrivijaya (dari sebab dapat) memang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan) kemakmuran ....

Dengan bukti semacam itu Hadiwidjana (1963) menyarankan agar bahasa Jawa Kuna disebut saja dengan bahasa “Indonesia Kuna” karena “jalan kalimatnya memang sejalan dengan jalan kalimat bahasa Indonesia. Bahasa Jawa yang sekarang, malahan harus banyak berputar-balik dahulu, supaya dapat sejalan dengan kalimat Jawa Kuna”.
Bahasa Jawa Kuna yang sampai kepada kita adalah bahasa Jawa Kuna yang terdapat dalam karya sastra. Dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa Kuna adalah (1) banyak menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, meskipun (2) dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok tetap merupakan bahasa Nusantara. Dalam daftar kata yang disusun Juynboll terdapat 6790 kata Sansekerta (termasuk kata majemuk) dan lebih kurang 6925 kata asli Jawa, sementara dalam bahasa Melayu Kuna kira-kira terdapat 750 unsur Sansekerta.
Pengaruh India dalam bidang linguistik pertama-tama adalah pengaruh bahasa Sansekerta. Namun, dalam 10 abad pertama Masehi bahasa Sansekerta tidak lagi digunakan di India sebagai bahasa pengantar pergaulan sehari-hari. Dalam pergaulan sehari-hari bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa pribumi yang berasal dari rumpun Indo-Arya (utara dan tengah) dan Dravida di selatan (Tamil, Telugu). Kedudukan bahasa Sansekerta hampir mirip dengan bahasa Latin di Eropa. Pengaruh bahasa Tamil banyak mempengaruhi bahasa Melayu, namun hal ini tidak terjadi dengan bahasa Jawa Kuna.
Kata-kata Sansekerta yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuna yaitu kata-kata benda dan kata-kata sifat yang tidak dideklinasikan serta kata-kata kerja yang tidak dikonjugasikan. Jadi, yang digunakan adalah lingga-nya. Kata-kata itu kemudian mendapat afiksasi bahasa Jawa. Misalnya, uttama (baik sekali) menjadi kottaman (konsfiks ka–an); yatna (pasif) menjadi kinayatnakěn (sisipan –in- dan akhiran –akěn dari bentuk sekunder berawalan ka-, kayatna). Data ini berdasarkan data tulis, kita tidak memiliki bagaimana pengucapan yang sebenarnya sehingga dimungkinkan bunyi aspiran (kh, th, ph) diubah menjadi k, t, p. Demikian juga vokal panjang.
Isi konseptual kata-kata Sanskerta pun bisa juga berubah. Hima, di India berarti ‘embun beku, cuaca penuh es, salju’, tetapi di Jawa diartikan ‘kabut’. Santoṣa yang berarti ‘rasa puas, kepuasan, merasa senang’ menjadi ‘teguh, kuat’ dan diterapkan juga pada barang yang tidak bernyawa. Anurāga yang berarti ‘keterikatan, afeksi, cinta, nafsu asmara’ di Jawa segi ‘nafsu’ tidak diutamakan melainkan ‘afeksi pada umumnya, simpati, dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain’ lalu memperoleh arti ‘tidak merasa diri lebih unggul daripada orang lain, tidak membanggakan kedudukan atau bakatnya, tidak berlagak, menyenangkan’ dan dalam bahasa Jawa Modern menjadi nor raga (dalam pembauran dengan kata Jawa sor).

2. Bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Pertengahan
Zoetmulder membandingan karya sastra abad 11 Arjuna-wiwāha dengan karya sastra abad 15 Lubdhaka (Siwarātrikalpa) dalam hal penggunaan bahasanya. Perbandingan tersebut ternyata tidak menemukan perbedaan yang besar tentang penggunaan bahasanya. Namun, bila dibandingkan dengan Kidung Sunda, akan terlihat jauh bedanya. Misalnya, kata rěngö yang bervariasi dengan rungu. Hal ini memunculkan istilah yang berbeda untuk menyebut bahasa yang digunakan pada Kidung Sundayana. Zoetmulder menggunakan istilah Jawa Pertengahan untuk menyebut bahasa pada kidung ini, walau diakuinya istilah ini agak membingungkan.
Ia kemudian melangkah lebih jauh dengan membandingkan bahasa Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan dengan bahasa Jawa Modern. Untuk itu ia mengambil contoh kata andika. Kata andika dalam bahasa Jawa Modern dipakai untuk menyapa bagi orang yang lebih tinggi derajatnya, dalam bahasa Jawa Pertengahan berarti ‘perintah, komando’. Dalam bahasa Jawa Kuna tidak ditemui kata ini.
Dengan dasar itu Zoetmulder menolak hipotesis bahwa bahasa Jawa Kuna berkembang menjadi bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Modern. Ia berhipotesis bahwa sifat-sifat yang sama ada pada bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Modern sebelum berpisah. Ciri bahasa Jawa Modern adalah adanya pengaruh bahasa Arab.
P. van Stein Callenfels menyatakan “dalam kenyataannya Jawa Pertengahan bukan saja puluhan tahun lebih tua daripada runtuhnya Majapahit, melainkan beberapa abad”. Zoermulder menambahkan bila kita terdorong oleh bentuk-bentuk yang mirip, menerima adanya satu sumber bersama yang dari satu pihak menumbuhkan Jawa Pertengahan di Bali (diandaikan sesudah jaman Majapahit) dan di lain pihak Jawa Modern yang terpengaruh oleh bahasa Arab, maka prasasti-prasasti memang memberi bukti konkrit untuk mendukung kesimpulan itu; biarpun jumlah prasasti itu hanya sedikit, tetapi berharga juga. Namun demikian, ia tidak sependapat dengan Callenfels mengenai pandangan tentang situasi linguistis selama praktis seluruh periode Jawa Timur.

3. Naskah-Naskah Berbahasa Jawa Kuna
Judul subbab 3 ini memasukkan juga apa yang termasuk ke dalam karya sastra dengan bahasa Jawa Pertengahan. Karya-karya ini dibicarakan secara panjang lebar oleh Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan. Selain dalam Kalangwan, karya sastra berbahasa Jawa Kuna ini juga dibicarakan oleh Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Jawi.
Karya sastra Jawa Kuna yang ada di dalam dua buku tersebut di atas adalah: Caṇḍakarana, Rāmāyana, Sang Hyang Kamahāyanikan, Brahmaṇḍapuraṇa, Agastya-parwa, Uttarakānda, Ādiparwa. Sabhāparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhiṣmapar-wa, Āsramawāsanaparwa, Mosalaparwa, Prasthānikaparwa, Swargarohanaparwa, Kuñjarakarṇa, Arjunawiwāha, Kṛṣṇāyana, Suma-nasāntaka, Smaradahana, Bhomāntaka/ Bhomakāwya, Bhāratayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wṛttasancaya, Lubdhaka (Siwarātrikalpa), Brahmandapurana (puisi), Kunjarakarna (puisi), Nāgarakṛtāgama, Arjunawijaya, Sutasoma, Pārthayajña, Subhadrawiwāha, Abhimanyuwiwāha, Hariwi-jaya, Narakawijaya, Nitiśastra, Nirathaprakṛta, Dharmaśunya, Hariśraya, Tantu Panggělaran, Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawāśrama, Serat Pararaton, Kidung Harsawijaya, Ranggalawe, Kidung Sunda, Sorāndaka, Dewaruci, Serat Sudamala, Serat Kidung Subrata, Serat Panji Angreni, dan Serat Sri Tanjung.

1 komentar: