1.
Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuna
Sejarah
penggunaan bahasa Jawa Kuna dimulai tanggal 25 Maret 804. Tanggal ini adalah
tanggal yang terdapat pada prasasti Sukabumi (Kediri), yaitu tahun 726 Ś.
Penentuan tanggal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum tahun itu bahasa yang
digunakan dalam prasasti adalah bahasa Sansekerta.
Pengetahuan
tentang bahasa Jawa Kuna sebelum tahun 804 didapatkan dari sumber-sumber yang
ditulis dalam bahasa yang bukan bahasa Jawa Kuna. Sumber itu berasal dari Indonesia sendiri dan dari luar Indonesia.
Yang berasal dari Indonesia
ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Melayu Kuna berupa prasasti-prasasti.
Sumber dari luar yaitu dari Tiongkok (catatan I Cing). Dari sumber Tiongkok
diketahui bahwa ada bahasa pribumi (k’un
lun) yang digunakan oleh penduduk Jawa, dan kemungkinan yang masuk akal
adalah bahasa Jawa Kuna.
Salah
satu prasasti yang ditulis dengan bahasa Melayu Kuna adalah prasasti
Kedukanbukit, tahun 605 śaka (683 M). Isi prasasti tersebut seperti berikut
(Iskandar 1996: 18-19).
1.
swasti
śrī śakavarṣātīta 605, ekādaśī śu-
2.
klapakṣa
vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di
3.
sāmvau
manalap siddhayatra disaptamī śuklapakṣa
4.
vulan
jyeṣṭha dapunta hiyaṃ marlapas ḍari mināna
5.
tāmvan
mamāwa yaṃ vala dua lakṣa dannan kośa
6.
duaratus
càra di samvau danan jālan sarivu
7.
tlurātus
sapuluh dua vañakña dataṃ di mata yap
8.
sukacita
di pañcami śuklapakṣa vulan .....
9.
laghu
mudita dātaṃ marvuat vanua ...
10. śrīvijaya, jaya siddhayātra subhikṣa
......
Terjemahannya:
1. Selamat
tahun Śaka telah berjalan 605 tanggal 11
2. paruh-terang
bulan Vaiśaka, yang dipertuan Hyang naik di
3. perahu
mengambil perjalanan suci pada tanggal 7 paruh-terang
4. bulan
Jyesta yang dipertuan Hyang berangkat dari Minanga
5. tamwan
membawa bala (tentera) dua puluh ribu dengan peti
6. duaratus
berjalan di perahu dengan jalan (darat) seribu
7. tigaratus
sepuluh dua banyaknya. Datang di mata yap (?).
8. bersukacita
pada tanggal lima
paruh-bulan ....
9. (dengan)
mudah dan senang datang membuat kota
...
10. Śrivijaya
(dari sebab dapat) memang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan)
kemakmuran ....
Dengan
bukti semacam itu Hadiwidjana (1963) menyarankan agar bahasa Jawa Kuna disebut
saja dengan bahasa “Indonesia Kuna” karena “jalan kalimatnya memang sejalan
dengan jalan kalimat bahasa Indonesia. Bahasa Jawa yang sekarang, malahan harus
banyak berputar-balik dahulu, supaya dapat sejalan dengan kalimat Jawa Kuna”.
Bahasa
Jawa Kuna yang sampai kepada kita adalah bahasa Jawa Kuna yang terdapat dalam
karya sastra. Dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa Kuna adalah (1) banyak
menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, meskipun (2) dalam
segala susunan dan ciri-ciri pokok tetap merupakan bahasa Nusantara. Dalam
daftar kata yang disusun Juynboll terdapat 6790 kata Sansekerta (termasuk kata
majemuk) dan lebih kurang 6925 kata asli Jawa, sementara dalam bahasa Melayu
Kuna kira-kira terdapat 750 unsur Sansekerta.
Pengaruh
India
dalam bidang linguistik pertama-tama adalah pengaruh bahasa Sansekerta. Namun,
dalam 10 abad pertama Masehi bahasa Sansekerta tidak lagi digunakan di India
sebagai bahasa pengantar pergaulan sehari-hari. Dalam pergaulan sehari-hari
bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa pribumi yang berasal dari rumpun
Indo-Arya (utara dan tengah) dan Dravida di selatan (Tamil, Telugu). Kedudukan
bahasa Sansekerta hampir mirip dengan bahasa Latin di Eropa. Pengaruh bahasa
Tamil banyak mempengaruhi bahasa Melayu, namun hal ini tidak terjadi dengan
bahasa Jawa Kuna.
Kata-kata
Sansekerta yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuna yaitu kata-kata benda dan
kata-kata sifat yang tidak dideklinasikan serta kata-kata kerja yang tidak
dikonjugasikan. Jadi, yang digunakan adalah lingga-nya.
Kata-kata itu kemudian mendapat afiksasi bahasa Jawa. Misalnya, uttama (baik sekali) menjadi kottaman (konsfiks ka–an); yatna (pasif) menjadi kinayatnakěn (sisipan –in- dan akhiran –akěn dari bentuk sekunder berawalan ka-, kayatna). Data ini berdasarkan data tulis, kita tidak memiliki
bagaimana pengucapan yang sebenarnya sehingga dimungkinkan bunyi aspiran (kh,
th, ph) diubah menjadi k, t, p.
Demikian juga vokal panjang.
Isi
konseptual kata-kata Sanskerta pun bisa juga berubah. Hima, di India berarti ‘embun beku, cuaca penuh es, salju’, tetapi
di Jawa diartikan ‘kabut’. Santoṣa
yang berarti ‘rasa puas, kepuasan, merasa senang’ menjadi ‘teguh, kuat’ dan
diterapkan juga pada barang yang tidak bernyawa. Anurāga yang berarti ‘keterikatan, afeksi, cinta, nafsu asmara’ di
Jawa segi ‘nafsu’ tidak diutamakan melainkan ‘afeksi pada umumnya, simpati,
dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain’ lalu memperoleh arti ‘tidak
merasa diri lebih unggul daripada orang lain, tidak membanggakan kedudukan atau
bakatnya, tidak berlagak, menyenangkan’ dan dalam bahasa Jawa Modern menjadi nor raga (dalam pembauran dengan kata
Jawa sor).
2. Bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Pertengahan
Zoetmulder
membandingan karya sastra abad 11 Arjuna-wiwāha
dengan karya sastra abad 15 Lubdhaka
(Siwarātrikalpa) dalam hal penggunaan bahasanya. Perbandingan tersebut
ternyata tidak menemukan perbedaan yang besar tentang penggunaan bahasanya.
Namun, bila dibandingkan dengan Kidung
Sunda, akan terlihat jauh bedanya. Misalnya, kata rěngö yang bervariasi dengan rungu.
Hal ini memunculkan istilah yang berbeda untuk menyebut bahasa yang digunakan
pada Kidung Sundayana. Zoetmulder
menggunakan istilah Jawa Pertengahan untuk menyebut bahasa pada kidung ini, walau diakuinya istilah ini
agak membingungkan.
Ia
kemudian melangkah lebih jauh dengan membandingkan bahasa Jawa Kuna dan Jawa
Pertengahan dengan bahasa Jawa Modern. Untuk itu ia mengambil contoh kata andika. Kata andika dalam bahasa Jawa Modern dipakai untuk menyapa bagi orang
yang lebih tinggi derajatnya, dalam bahasa Jawa Pertengahan berarti ‘perintah,
komando’. Dalam bahasa Jawa Kuna tidak ditemui kata ini.
Dengan
dasar itu Zoetmulder menolak hipotesis bahwa bahasa Jawa Kuna berkembang
menjadi bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Modern. Ia berhipotesis bahwa
sifat-sifat yang sama ada pada bahasa Jawa Pertengahan dan bahasa Jawa Modern sebelum berpisah. Ciri bahasa Jawa
Modern adalah adanya pengaruh bahasa Arab.
P.
van Stein Callenfels menyatakan “dalam kenyataannya Jawa Pertengahan bukan saja
puluhan tahun lebih tua daripada runtuhnya Majapahit, melainkan beberapa abad”.
Zoermulder menambahkan bila kita terdorong oleh bentuk-bentuk yang mirip,
menerima adanya satu sumber bersama yang dari satu pihak menumbuhkan Jawa
Pertengahan di Bali (diandaikan sesudah jaman Majapahit) dan di lain pihak Jawa
Modern yang terpengaruh oleh bahasa Arab, maka prasasti-prasasti memang memberi
bukti konkrit untuk mendukung kesimpulan itu; biarpun jumlah prasasti itu hanya
sedikit, tetapi berharga juga. Namun demikian, ia tidak sependapat dengan
Callenfels mengenai pandangan tentang situasi linguistis selama praktis seluruh
periode Jawa Timur.
3.
Naskah-Naskah Berbahasa Jawa Kuna
Judul
subbab 3 ini memasukkan juga apa yang termasuk ke dalam karya sastra dengan
bahasa Jawa Pertengahan. Karya-karya ini dibicarakan secara panjang lebar oleh
Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan.
Selain dalam Kalangwan, karya sastra
berbahasa Jawa Kuna ini juga dibicarakan oleh Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Jawi.
Karya
sastra Jawa Kuna yang ada di dalam dua buku tersebut di atas adalah: Caṇḍakarana, Rāmāyana, Sang Hyang
Kamahāyanikan, Brahmaṇḍapuraṇa, Agastya-parwa, Uttarakānda, Ādiparwa.
Sabhāparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhiṣmapar-wa, Āsramawāsanaparwa,
Mosalaparwa, Prasthānikaparwa, Swargarohanaparwa, Kuñjarakarṇa, Arjunawiwāha,
Kṛṣṇāyana, Suma-nasāntaka, Smaradahana, Bhomāntaka/ Bhomakāwya,
Bhāratayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wṛttasancaya, Lubdhaka (Siwarātrikalpa), Brahmandapurana (puisi), Kunjarakarna (puisi), Nāgarakṛtāgama,
Arjunawijaya, Sutasoma, Pārthayajña, Subhadrawiwāha, Abhimanyuwiwāha,
Hariwi-jaya, Narakawijaya, Nitiśastra, Nirathaprakṛta, Dharmaśunya, Hariśraya,
Tantu Panggělaran, Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawāśrama, Serat Pararaton,
Kidung Harsawijaya, Ranggalawe, Kidung Sunda, Sorāndaka, Dewaruci, Serat
Sudamala, Serat Kidung Subrata, Serat Panji Angreni, dan Serat Sri Tanjung.
Terimakasih dengan infonya, sangat bermanfaat
BalasHapusObat Eksim
Obat Diabetes
Obat Gatal Bernanah