A. DEFINISI, KONSEP, DAN HAKIKAT SASTRA
1. DEFINISI SASTRA
Kesusastraan berasal dari kata su (baik) dari bahasa jawa, sas (ajaran), dan tra (alat) dari bahasa sansekerta. Maka susastra adalah alat untuk mengajarkan sesuatu yang baik. Objek penelitian ilmu sastra karya sastra dan dalam hubungannya dengan karya sastra seperti pengarang, pembaca, dan dunia sastra. Ilmu sastra dalam klasifikasi Rene Wellek (1976), terbagi dalam 3 bidang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Teori sastra adalah bidang ilmu sastra yang membicarakvn konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan hakikat sastra. Kritik sastra membicarakan atau berkenaan langsung dengan kegiatan penyelidikan, penelitian, pengkajian, atau telaah pada karya sastra dengan memanfaatkan teori sastra.
Karya sastra dibedakan menjadi jenis karya sastra tulis dan sastra lisan. Namun dalam pembahasan kali ini hanya membahas karya sastra tulis saja. Jenis karya sastra dibedakan ke dalam tiga genre, yaitu prosa, puisi, dan drama. Genre prosa misalnya novel dan cerpen. Genre puisi dapat berupa puisi tradisional (pantun) maupun puisi modern. Genre drama misalnya naskah drama baik tradisional modern, teater, dan skenario film atau sinetron.
2. KONSEP DAN HAKIKAT SASTRA
Pertanyaan klasik tentang apakah sastra itu sebenarnya sudah muncul sejak zaman Plato, yaitu tahun 470-an SM. Diskusi Plato dengan Aristoteles tentang sastra dan kenyataan tidak menuntaskan pertanyaan tersebut. Kemudian Horatius menjelaskan manfaat sastra yang harus dulce et utile-indah atau nikmat dan bermanfaat bagi masyarakat. Teeuw (1984:21—24) menyebutkan bahwa batasan sastra yang selama ini digunakan ternyata hanya menekankan salah satu aspek saja.
Sastra dalam bahasa Inggris disebut literature dalam bahasa Jerman literatur dalam bahasa Perancis littérature yang kesemuanya itu berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika. Kata litteratura berasal dari kata littera, sementara grammatika dari kata gramma yang berarti huruf (tulisan, letter). Litteratus adalah orang yang ahli di bidang tata bahasa dan puisi. Dalam bahasa Perancis ada juga istilah letter yang dalam bahasa Belanda geletterd untuk menyebut orang yang mahir sastra (Teeuw, 1984:22).
Litterature diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis (Jerman: schrifftum). Untuk tulisan yang bersifat rekaan dalam bahasa Jerman disebut duchtung (Belanda: letterkunde). Dalam bahasa jawa kuno, dipakai istilah pustaka, yang berarti buku di samping istilah susastra. Dalam bahasa Cina wen, yang menurut asal katanya berarti ikatan atau tenunan. Dalam bahasa Arab muncul istilah adab dan tamaddun.
B. BAHASA SASTRA
Lotman (1977) menyimpulkan bahwa sastra harus dilihat dari segi bahasa karena sebenarnyalah sastra adalah peristiwa bahasa. Bahasa yang disebut sastra adalah bahasa khas (ein sekundares modellbildendes system), yaitu sistem pembentuk model sekunder berdasarkan sistem primer. Sementara, bahasa sehari-hari adalah ein primares modellbildendes, sistem pembentuk model primer yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak habya dalam arti kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai dalam karya sastra, tetapi juga harus memahami keistimewaan struktur bahasa itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut (Teeuw,1984:60).
Riffaterre (1978) menyebt bahwa sastra adalah sistem tanda atau sistem komunikasi yang tidak langsung (istilah Riffaterre: ekspresi yang tidak langsung). Menurutny ketidak langsungan ekspresi karena disebabkan oleh tiga hal
1. Displacing of meaning merujuk pada penggantian arti atau memanfaatkan bahasa kias (figurative language). Dalam bahasa jawa panyandra.
2. Distorting of meaning dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pemencongan arti. Contohnya dalam bahasa jawa adalah parikan.
3. Creating of meaning atau penciptaan arti baru. Contohnya adalah sanepa.
C. SASTRA SEBAGAI SISTEM SEMIOTIK
Kehidupan sebenarnya adalah tanda-tanda. Itulah yang dikatakan oleh para ahli semiotik. Tanda (sign) dipelajari dalam semiotik. Jelasnya semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Sastra adalah sistem tanda karena sebenarnyalah alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan-gagasan dari penulis kepada pembaca.gagasan itu disampaikan melalui kemasan (baca: manipulasi) bahasa sehingga bersifat tidak langsung, ambigu, dan intuitif. Inilah sifat sastra sejatinya.
Tanda (sign) memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda ini bersifat semena-mena (arbitrer) tergantung konvensi pemakainya. Petanda adalah aspek bentuk sementara penanda adalah aspek isi (konsep).penanda bersifat manasuka. Pandangan ini sebenarnya diilhami dari pandangan Ferdinand De Seassure, seorang ahli bahasa. C.S Peirce membagi tanda ke dalam tiga golongan, jika dilihat dari hubungan antara yang menjadi penanda dan yang ditandai (petanda).
Ikon yaitu tanda yang memiliki kemiripan hubungan (foto, peta). Index yaitu hubungan penanda dan petanda merupakan hubungan sebab akibat (api dan asap). Symbol adalah hubungan yang bersifat konvensi dan semena-mena (bahasa).
D. BERBAGAI PENDEKATAN DALAM SASTRA
Pendekatan sangat penting untuk menemukan teori untuk dasar penelitian. Teori adalah suatu landasan pikiran atau konsep yang dibentuk oleh sesuatu yang telah diuji. Abrams (1981) dalam The Mirror and the Lamp menyatakan bahwa, sastra sebagai sarana komunikasi dapat didekati dari aspek, yaitu universe atau semesta, ekspresi, pragmatik, dan objektif atau karya itu sendiri. Pendekatan adalah teropong dalam sastra atau bahasa.
§ Pendekatan semesta atau dikenal dengan pendekatan mimesis adalah pendekatan yang menekankan pada segi alam semesta. Karya sastra dianggap baik bila menyerupai alam semesta. Pendekatan mimesis sebenarnya dirintis oleh Plato sekitar tahun 470 an SM yang berpandangan bahwa kenyataan sebenarnya hanyalah tiruan karena yang hakiki, yang being, yang nyata atau yang benvr adalah yang ada di dalam pikiran kita.
§ Pendekatan pragmatik menekankan bahwa karya sastra disebut baik jika memiliki fungsi bagi masyarakat. Rintisan pendekatan ini sebenarnya hampir sama tuanya, yaitu munculnya tulisan Horatius yang menyatakan bahwa sastra haruslah dulce et utile, indah tapi juga menyenangkan atau bermanfaat.
§ Pendekatan ekspresif menekankan pada segi pengaran selaku pencipta sastra. Sastra disebut baik tergantung dari apa intensi atau niat pengarang.
§ Pendekatan objektif menekankan segi objeknya, yaitu karya sastra sebagai suatu yang otonom (bebas atau merdeka). Karya sastra adalah peristiwa bahasa yang otonom dan memiliki makna yang absolut.
Pendekatan selain yang dimunculkan oleh Abrams adalah pendekatan semiotik, stilistika, sosiologi sastra, psikologi sastra, estetika, dan pendekatan historis.
§ Pendekatan semiotik adalah pendekatan yang menekankan bahwa teks sastra merupakan sistem tanda.
§ Pendekatan stilistika adalah pendekatan yang menekankan pada aspek bahasa.
§ Pendekatan sosiologi sastra sangat menekankan pada segi sosial masyarakat. Hubungan karyv sastra dan masyarakat tidak bersifat diterministik tetapi melalui mediasi.
§ Pendekatan psikologi sastra atau psikokritik menekankan segi kejiwaan tokoh atau pengarang. Teori Sigmund Freud tentang Ego adalah contoh dari analisis sastra yang menggunakan pendekatan psikologi.
§ Pendekatan estetika memandang bahwa karya sastra adalah kreativitas seni. Namun di Indonesia pendekatan ini sangat tidak berkembang sebagaimana pendekatan historis dan antropologis.
E. BERBAGAI-BAGAI METODE ANALISIS
Untuk memahami teks sastra, langkah paling awal adalah melakukan analisis terhadap teks. Analisis adalah cara untuk menyelidiki atau membahas teks sastra. Ada beberapa metode analisis yaitu metode hermeneutik, struktural semiotik, dan metode dialektik.
§ Metode hermeneutik (interpretasi) berasal dari filsafat hermeneutik yang berkembang di Jerman. Hermeneutik berasal dari hermenienin yang berarti menafsirkan. Maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah teknik menafsir teks dari tidak mengerti menjadi paham atau mengerti. Metode ini dikembangkan oleh Riffaterre untuk memahami teks sastra. Bahasa sastra menurut Lotman adalah bahasa tingkat kedua, sementara bahasa sehari-hari adalah bahasa tingkat pertama. Implikasi dari pendapat Lotman adalah bahwa untuk memahami sastra langkah pertama adalah melalui pembacaan heuristik, yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa. Pembacaan ini masih bersifat linier. Pada dasarnya bahasa sastra bersifat ungrammaticality (tidak sesuai kaidah)
§ Metode struktural semiotik senada dengan cara kerja hermeneutik. Metode ini sebenarnya adalah metode semiotik yang menggunakan prinsip-prinsip struktural untuk memperoleh analisis semendetail mungkin. Istilah pendekatan ini dalam sastra Indonesia dimunculkan oleh Pradopo (1993). Asumsi dasar metode ini adalvh bahwa karya sastra merupakan bangun struktur yang masing-masing unsurnya saling kait mengkait.
§ Metode dialektik berasal dari filsafat Hegel “untuk melihat benda, tidak perlu memikirkan pendapat dari orang lain, tetapi melihat benda tersebut secara apa adanya”. Faruk mengungkapkan bahwa metode ini dikembang-kan dari Mazab Marxis yang dikembangkan oleh Lucient Goldmann.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar